Problem Pembelajaran Bahasa Jawa
Berdasarkan peraturan
Gubernur Jawa Timur No 19 Tahun 2014 tentang mata pelajaran bahasa
daerah sebagai muatan lokal wajib disekolah/ madrasah. Salah satu
bahasa daerah yang ditetapkan sebagai mata pelajaran muatan lokal tersebut
adalah bahasa Jawa. Sebagai sebuah matapelajaran baru di tingkat
SMA/MA/SMK, Penetapan matapelajaran bahasa Jawa sebagai muatan lokal wajib di
sekolah menengah ini merupakan materi pelajaran baru tentu menimbulkan banyak
problem yang harus diperhatikan. Makalah ini bertujuan untuk membahas (a)
Bagaimanakah problem guru dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa Jawa di
tingkat SMA/K di Jawa Timur? (b) Bagaimanakah problem materi dalam pembelajaran
bahasa Jawa di tingkat SMA/K di Jawa Timur? Hasil penelitian deksriptif
kualitatif ini menunjukkan bahwa problem utama guru dalam
pembelajaran bahasa Jawa adalah banyaknya guru yang tidak memiliki latar
belakang pendidikan bahasa Jawa dan materi bahasa Jawa yang terdapat dalam
buku-buku teks tidak mewadahi dialek bahasa Jawa sesuai dengan latar belakang
siswa. Oleh karena itu pemerintah, dalam arti Pemerintah Daerah perlu
memberikan pelatihan untuk membekali dan meningkatkan kompetensi dan
kelayakan guru mengajar.
Kata kunci: problem
pembelajaran Bahasa Jawa, muatan lokal, dialek
Pendahuluan
Pendahuluan
Keberadaan bahasa Indonesia saat ini tidak dapat dipisahkan dari
bahasa daerah yang Jumlahnya mencapai 746 sesuai pernyataan Dr. Dendy Sugono,
pada Kongres Bahasa Indonesia IX di Jakarta pada 28 Oktober sampai dengan 1
November 2008. Melalatoa (1995) seperti dikutip Tilaar (2007: 203) menyatakan
bahwa bahasa Indonesia adalah suatu bahasa yang hidup karena dihidupi oleh 726
suku bangsa yang juga memiliki bahasanya sendiri. Peran bahasa daerah dalam
pengembangan bahasa Indonesia tidak dapat dipungkiri.
Sayangnya, globalisasi yang berkembang sangat pesat membuat
bahasa daerah semakin lama semakin terpinggirkan. Bahasa daerah yang dahulu
digunakan dalam pergaulan satu suku atau kelompok masyarakat di daerah tertentu
juga mengalami penyempitan wilayah penggunaan. Bahasa daerah terdesak oleh bahasa
Indonesia yang semakin kokoh menjalankan erannya sebagai bahasa nasional. Pola
pikir masyarakat pun bergeser dalam menggunakan bahasa daerah. Pada akhirnya
bahasa daerah hanya digunakan dalam ranah keluarga; mereka lebih memilih
menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan lebih luas di masyarakat. Bahasa
Indonesia dinilai lebih bergengsi daripada bahasa lain, termasuk bahasa
daerah. Lebih bergengsi. Dari sini timbul penilaian subjektif: ada bahasa yang
lebih bergengsi daripada yang lain. Situasi seperti ini disebut sebagai situasi
diglosik yaitu suatu keadaan terdesaknya suatu bahasa karena klah bersaing
dengan bahasa lain sehingga ranah pemakaiannya menjadi semakin sempit hingga
hanya dipakai dalam ranah keluarga.
Halim dalam Taha (2000) menyatakan bahwa terkait dengan
fungsi bahasa
Indonesia, bahasa
daerah berfungsi sebagai (a) pendukung bahasa nasional, (b) bahasa pengantar di
sekolah, dan (c) alat pengembangan dan pendukung kebudayaan daerah. Mengingat
peran penting bahasa daerah sebagai pondasi pembentukan dan pengembangan bahasa
Indonesia, keberadaan bahasa daerah perlu terus dipertahankan. Dalam Keputusan
Menteri dalam Negeri No. 40 Tahun 2007 dijelaskan bahwa kewajiban untuk
menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan bahasa daerah ada pada Pemerintah
Daerah. Hal ini sesuai dengan pasal 42 (1) UU No. 24 Tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, yang menyebutkan
bahwa “Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa
dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan
bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian
dari kekayaan budaya Indonesia.”
Kewajiban
pemerintah dalam pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh
pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan” (Badan Bahasa, 2009).
Dalam praktiknya, pembinaan dan pengembangan bahasa daerah
dinilai banyak pihak belum banyak membawa hasil yang menggembirakan. Faktanya,
bahasa daerah semakin hari semakin terpinggirkan. Anak-anak muda semakin
meninggalkan bahasa daerahnya. Pada awal implementasi Kurikulum 2013, bahkan
kekhawatiran akan semakin terpinggirkannya bahasa daerah karena dihapuskan
dalam kurikulum SMP sempat disuarakan banyak pihak. Kekhawatiran ini terjadi
karena dalam struktur Kurikulum 2013, bahasa daerah tidak tercantum
secara eksplisit termasuk dalam muatan lokal.
Desakan agar bahasa daerah dinyatakan secara eksplisit dalam
struktur Kurikulum 2013 dilakukan banyak pihak mulai dari mahasiswa,
masyarakat, guru, dan kelompok masyarakat yang peduli pada kelestarian dan
pengembangan bahasa daerah Desakan
ini juga disampaikan oleh Forum Peduli Bahasa Daerah se-Indonesia yang
diterima Ketua Panitia Kerja (Panja) Kurikulum Komisi X DPR Utut Adianto di
Jakarta, Senin (7/1/2013). (http:// edukasi.kompas.com/read/2013/01/07/19153069/Bahasa.Daerah.Harus.Masuk.Kurikulum
2013). Menanggapi desakan itu, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, seperti diberitakan Kompas (7/1/2013).
menegaskan bahwa mata pelajaran bahasa daerah masih tetap ada dalam Kurikulum
2013 tetapi pengaturan dan pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing
daerah. Bahasa daerah dimasukkan dalam kelompok mata pelajaran muatan lokal.
Kedudukan
bahasa daerah sebagai mata pelajaran muatan lokal disambut dengan baik oleh
pemerintah daerah yang kemudian mengatur pelaksanaannya di daerahnya
masing-masing. Di Jawa Timur, regulasi pembelajaran bahasa daerah dalam
Kurikulum 2013 diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub)
No 19 tahun 2014. Bahasa daerah yang ditetapkan adalah bahasa Jawa dan
bahasa Madura. Bila dalam kurikulum-kurikulum sebelumnya bahasa daerah hanya
diajarkan di tingkat SD dan SMP, dengan Pergub tersebut bahasa daerah diajarkan
di tingkat SD/MI, SMP/MTs, hingga SMA/MA/SMK.
Masuknya
bahasa daerah sebagai salah satu mata pelajaran muatan lokal di tingkat
SMA/MA/SMK tidak hanya berdampak positif bagi pengembangan dan pelestarian
bahasa daerah, tetapi juga diiringi menimbulkan berbagai problem pembelajaran.
Problem tersebut antara lain berkaitan dengan ketersediaan tenaga pendidik
(guru) yang kompeten mengajar bahasa daerah serta ketersediaan materi (buku,
modul) yang sesuai. Makalah ini bertujuan untuk membahas problem
pembelajaran bahasa daerah, khusus bahasa Jawa, di Jawa Timur terutama problem
yang terkait dengan ketersediaan tenaga pendidik (guru) dan materi
pembelajarannya.
B.
Matapelajaran Bahasa Derah
dalam Struktur Kurikulum SMA/SMK/MA di Jawa Timur
Pada Lampiran II ,
Pedoman Pengembangan Muatan Lokal dalam Permendikbud Nomor 81A tahun 2013
tetang Implementasi Kurikulum dijelaskan bahwa lingkup isi/jenis muatan
lokal dapat berupa: bahasa daerah, bahasa Inggris, kesenian daerah,
keterampilan dan kerajinan daerah, adat istiadat, dan pengetahuan tentang
berbagai ciri khas lingkungan alam sekitar, serta hal-hal yang dianggap
perlu untuk pengembangan potensi daerah yang bersangkutan. Kewajiban
untuk menyelenggarakan pendidikan muatan local, termasuk bahasa daerah berada
di tangan pemerintah daerah.
Dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan pendidikan muatan lokal ini, Pemerintah Daerah Jawa Timur,
Gubernur Jawa Timur, melalui Peraturan Gubernur(Pergub) No 19 tahun 2014
menetapkan bahasa Jawa dan bahasa Madura dimasukkan dalam struktur kurikulum SD/MI, SMP/MTs, hingga SMA/MA/SMK dengan
alokasi waktu minimal 2 jam/ minggu. Matapelajaran bahasa Jawa dan
Madura bertujuan untuk
melestarikan, mengembangkan, dan mengkreasikan bahasa dan sastra daerah.
Untuk itu, pelaksanaan pembelajaran harus dilakukan dalam pembelajaran yang
aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM) dengan
memperhatikan aspek pragmatik, atraktif, rekreatif, dan komunikatif.
Dalam Pergub Jatim No
19 tahun 2014 dijelaskan bahwa bahan ajar matapelajaran bahasa Jawa disiapkan
oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota bekerja sarna dengan
institusi/pihak yang terkait. Dijelaskan juga bahwa muatan lokal bahasa
daerah dimaksudkan sebagai wahana untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan
etika, estetika, moral, spiritual, dan karakter. Muatan lokal bahasa
daerah di Jawa Timur bertujuan untuk melestarikan, mengembangkan, dan
mengkreasikan bahasa dan sastra daerah.
Materi ajar bahasa daerah
dapat diperkaya dengan hal ihwal yang kontekstual dengan keadaan dan
perkembangan budaya dan tata nilai di kabupaten kota masing-masing. Materi ajar
bahasa daerah dipilih dan ditekankan pada bahan yang bersifat pragmatik,
komunikatif, rekreaktif, dan berdaya guna bagi kehidupan siswa. Sesuai
dengan tujuan pembelajaran matapelajaran muatan lokal, maka materi ajar
bahasa daerah bersumber dari budaya, tata nilai, yang berkembang di lingkungan
masyarakat sebagai integrasi tematik yang memanfaatkan kearifan lokal.
C. Problem Pengajaran Bahasa Jawa di SMA/K di Jawa Timur
1. Sebelum Implementasi Kurikulum 2013
Sebelum membahas
problem pengajaran bahasa Jawa di jawa Timur sebagai imlementasi
Kurikulum 2013, berikut disajikan gambaran singkat pembelajaran bahasa Jawa di
SD dan SMP dengan KBK dan KTSP.
Sudah menjadi rahasia
umum yang berkembang di daerah Jawa Timur, terutama di daerah perkotaan
bahwa matapelajaran bahasa Jawa menjadi salah satu pelajaran yang kurang
diminati siswa SD dan SMP. Utari dalam Skriptorium, Vol. 1, No. 3) antara lain menyebutkan bahwa kurangnya minat
belajar bahasa Jawa pada siswa SD di Surabaya karena sebagian besar (60%)
siswa merasa kesulitan mempelajarinya. Kesulitan terjadi karena bahasa yang
diajarkan di sekolah berbeda dengan bahasa mereka sehari-hari. Penyebab
kesulitan siswa lainnya adalah aksara Jawa yang tidak pernah mereka
gunakan dalam kehidupan sehari-hari serta perbedaan ejaan (penulisan kata)
bahasa Jawa yang berbeda dengan ejaan bahasa Jawa.
Pada Kurikulum KTSP
maupun KBK baik di tingkat SD maupun SMP bahasa jawa yang diajarkan adalah
bahasa Jawa standard dan tidak memberi porsi bagi dialek/subdialek bahasa
Jawa. Padahal, seringkali dialek/subdialek bahasa Jawa itu sanget
berbeda dengan bahasa Jawa standar. Akibatnya, siswa di daerah tertentu yang
dalam keseharian menggunakan dialek/subdialek tertentu akan kesulitan
memahami bahasa Jawa standar yang dajarkan. Boleh jadi, dalam proses
penguasaannya siswa mengalami kesulitan yang hampir sama dengan saat
mempelajari bahasa asing.
Salah satu perbedaan
paling nyata adalah perbedaan kosa kata. Berikut ini adalah contoh perbedaan
antara kosa kata bahasa Jawa standar yang diajarkan dengan dialek/subdialek
bahasa Jawa.
Tabel
1: Contoh Perbedaan antara Kosa kata bahasa Jawa standar
yang
diajarkan dengan dialek/subdialek bahasa Jawa.
Kosa
kata
|
Standar
|
Subdialek/
dialek
|
akan
|
Arep
|
kate/ ate (Malang dan Surabaya)
|
makan
|
Mangan
|
madhang (Blitar, Tulungagung)
|
terbang
|
Mabur
|
miber ((Blitar, Tulungagung)
mabrung (Malang)
|
menghalau
|
Nggusah
|
Nggurak ((Blitar, Tulungagung)
|
Perbedaan lainnya adalah masalah morfolofis, terutama penggunaan partikel yang
menjadi kekhasan bahasa Jawa di tiap daerah. Misalnya partikel “a” di tiap
akhir kalmat tanya yang berkembang di wilayah Malang, pasuruan, dan Surabaya.
Misalnya untuk kalimat tanya, “Mulih barenga?” Ada juga partikel “ok” yang
berkembang di daerah Blitar, Tulungagung, dan sekitarnya, misal “Aku ra melu
ok.” Belum lagi kebiasaansalah kaprah penggunaan ragam krama madya
dan krarma inggil yang akhir-akhir ini banyak berkembang di kalangan anak muda
di Malang dan Surabaya. Misalnya kerancuan penggunaan kata
“sampean”. Sudah menjadi hal yang umum bila di kedua kota besar di jawa
Timur ini ditemukan seorang anak memanggil orang tua, yang lebih tua, bahkan kepada
gurunya dengan kata “sampean”; bukan “panjenengan.”
Ada juga fenomena
bahasa khas Surabaya yang terkenal dengan “cak-cuknya” atau bahasa Jawa khas
Malang yang dikenalsebagai bahasa walikan atau kiwalan. Kedua bahasa ini
menjadi bahasa sehari-hari yang digunakan sebagian besar siswa di daerah
tersebut.
Sedikit contoh di atas
menjadi bukti bahwa dalam pembelajaran bahasa Jawa di tingkat SD/MI dan SMP/MTs
yang berlaku pada kurikulum terdahulu tidak memberikan ruang bagi perkembangan
dialek/ subdialek bahasa Jawa tempat dimana anak tinggal.
Rendahnya minat
belajar siswa terhadap matapelajaran bahasa Jawa juga disebabkan sebagian besar
materi yang diajarkan jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya
nama-nama bunga, nama-nama anak binatang,nama isi buah-buahan,dan sebagainya).
Kebijakan tidak memasukkan bahasa daerah menjadi salah satu matapelajarkan yang
di-UN-kan pun menjadikan bahasa Jawa semakin tidak diminati oleh siswa SD dan
SMP.
2. Masa
Implementasi Kurikulum 2013
Dalam
melaksanakan pembelajaran matapelajaran muatan local bahasa Jawa,
Provinsi Jawa Timur melalui Peraturan Gubernur (Pergub) No 19 tahun 2014
menetapkan bahwa bahasa Jawa wajib diajarkan atau masuk muatan lokal dari
tingkat SD sampai SMA Sederajat. Sebagai sebuah kebijakan baru, masuknya bahasa
Jawa dalam struktur Kurikulum SMA/SMK/MA membawa dampak luas bagi
penyelenggaraan pendidikan tingkat menengah di Jawaa Timur. Berikut akan
diurakan satu per satu.
a. Problem Ketersediaan Guru
Pengampu Bahasa Jawa
Jumlah
guru bahasa Jawa yang sudah bersertifikasi (guru profesional) tidak seimbang
dengan jumlah sekolah (jam mengajar) bahasa Jawa mulai dari tingkat SD, SMP,
hingga SMA. Salah satu penyebabnya adalah jumlah Lembaga Pentdidikan
Tinggi Keguruan (LPTK) di Jawa Timur yang menyelenggarakan program pendidikan
bahasa daerah (Jawa) di Jawa Timur hanya ada dua yaitu
Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dan Universitas Negeri Malang
(UM) yang membuka Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia dan bahasa Daerah. Belum
ada LPTK sawasta yang membuka prodi bahasa daerah. Itu pun jumlah peminat
dan saya tampung yang tersedia tidak cukup memadai.
Langkah
yang ditempuh oleh SMA/SMAK untuk memenuhi kebutuhan guru bahasa Jawa adalah
merekrut guru baru dengan kualifikasi yang berbeda-beda. Dari 60
SMA/SMK dari berbagai kota di Jawa Timur yang dijadikan responden , hanya
17 sekolah (28%) yang mendapatkan guru senior yang benar-benar berlatar
belakang pendidikan bahasa Jawa. Sisanya, ada 20 sekolah (33.3%) yang merekrut
guru muda,fresh graduate dari Prodi bahasa Jawa dari
Unesa dan dari Prodi Bahasa Indonesia dan Daerah dari UM. Guru muda yang
sebagian besar masih belum mempunyai pengalaman mengajar tentu tidak bisa
diharapkan mampu mengajar dengan baik. Mereka masih membutuhkan pendidikan dan latihan
(diklat) untuk dapat memiliki kompetensi mengajar yang memadai.
Yang
memprihatinkan adalah sebanyak 24 sekolah (45%) akhirnya menunjuk guru
yang sama sekali tidak memiliki latar belakang pendidikan bahasa daerah.
Sekolah menugaskan pada guru-guru yang jam mengajarnya belum memenuhi 24 jam
sesuai dengan tuntutan sertifikasi guru. Maka tak heran bila ada SMA yang
menugaskan guru bhasa Mandarin, PKn, Sejarah, Agama Budha, bahkan guru
Biologi untuk mengajar bahasa Jawa. Selain kurangnya jam mengajar,
kemampuan berbahasa Jawa juga dijadikan bahan pertimbangan. Bahkan, Jawa
Pos,Jumat, 15 Agustus memberitakan bahwa dari 6000 orang guru bahasa Jawa yang
dibutuhkan di Jatim saat ini baru tersedia 2000 orang.
Terhadap
kebijakan sekolah ini, sikap guru terpecah menjadi dua kelompok. Ada guru yang
secara terang-terangan menolak mengampu matapelajaran bahasa Jawa karena merasa
tidak memliki kompetensi yang layak untuk mengajarkannya. Kelompok kedua
bersikap memilih menerima karena kekurangan jam mengajar. Kelompok ini paling
banyak berasal dari guru SMK yang matapelajarannya dihapus dalam struktur
Kurikulum 2013 misalnya Geografi, Biologi, dan Akuntansi.
Kondisi
guru pengampu bahasa Jawa seperti uraian di atas jauh dari memenuhi syarat
kelayakan untuk mengajar bahasa Jawa. Suwardi (2006)
menyatakan bahwa seorang guru bahasa Jawa harus menguasai empat
aspek yaitu aspek kompetensi mental, aspek kompetensi prosefional, dan aspek
kompetensi substansial. Aspek kompetensi mental, meliputi penguasaan tatakrama
Jawa dan sikap otonom dan kreatif. Aspek kompetensi profesional, terkait dengan teaching-learning meliputi
menguasai strategi belajar stimulus-respon, pemahaman terhadap perkembangan
jiwa siswa, menguasai pengalaman real-teaching, dan bersikap berbudi bawaleksana.
Aspek kompetensi substansial, yaitu kemampuan dalam penguasaan materi pokok
pembelajaran bahasa dan sastra Jawa yaitu mampu membaca dan menulis huruf
.Jawa, (2) menembang Jawa (dolanan, macapat, campursari, dll.), sesorah (pidato)
dan pewara, serta membaca dan mencipta berbahasa Jawa.
Dengan
demikian, idealnya guru yang mengampu mata pelajaran bahasa Jawa juga
harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai untuk membaca,
menyimak, berbicara, dan menulis dalam bahasa Jawa dan aksara Jawa dalam
berbagai jenis teks serta memiliki pengetahuan yang memadai tentang budaya Jawa
dan adat istiadat Jawa.
Kita
memang masih bisa berharap guru mampu mengajar tentang berbagai macam
budaya daerah/ upacara adat karena merupakan materi yang bersifat pengetahuan.
Akan tetapi, sulit rasanya berharap guru asal tunjuk bahkan ada responden yang mengistilahkanguru bahasa
Jawa jadi-jadian akan mampu
mengajar dengan baik seluruh materi yang disajikan dalam silabus.
Temuan
lain yang diperoleh dari kuesioner adalah informasi bahwa Instruktur Nasional
(IN) dari pengawas yang mengikuti diklat IN juga tidak memiliki latar belakang
pendidikan bahasa Jawa. Ada pengawas yang dulunya guru Penjaskes, PKn, dan
lain-lain.
Kondisi
di atas menyebabkan timbulnya kesan bahwa pembelajaran bahasa Jawa di
tingkat SMA/ SMK diselenggarakan tidak sungguh-sungguh, hanya sekedar tempelan,
yang penting dilaksanakan. Bahkan, banyak guru yang berpendapat bahwa
penyelenggaran pembelajaran bahasa Jawa di SMA/SMK hanyalah salah satu upaya
untuk mengantisipasi kekurangan jam mengajar guru yang mata pelajarannya
dihapus dalam Kurikulum 2013.
b. Problem Materi Pembelajaran
Di atas telah
disinggung bahwa di tingkat SD dan SMP pembelajaran bahasa Jawa dianggap
sebagai pelajaran yang tidak penting karena tidak di-UN-kan dan materi yang
diajarkan tidak sesuai dengan kenyataan berbahasa siswa dalam kehidupan nyata.
Bila
ditilik dari materi pembelajaran yang terdapat dalam silabusnya, mata pelajaran
bahasa Jawa tidak hanya mengajarkan bahasa Jawa dan aksara Jawa. Materi
yang disajikan mencakup empat ketrampilan berbahasa yaitu membaca,
menyimak, berbicara, dan menulis serta memasukkan budaya dan adat Jawa.
Lebih jelasnya perhatikan tabel berikut.
Tabel 2: Materi Bahasa Jawa di SMA/MA/SMK Jawa Timur
dalam Kurikulum 2013
No
|
Materi Kelas X
|
Materi Kelas XI
|
Materi Kelas XII
|
1.
2.
3.
4.
|
Semester
Ganjil
Artikel
Cerita
wayang
Drama
Aksara
Jawa Carakan
|
Semester
ganjil
Geguritan
Macam-macam
budaya daerah/ upacara adat.
Pewara
dan pidato.
|
Semester
ganjil
Unggah-ungguh
Cerita
cekak (cerita pendek)
Anekdot
|
1.
2.
3.
4.
|
Semester
Genap
Bahasa
dalam teks sastra (basa rinengga lelangit)
Teks panyandra
Aksara murda, aksaraswara, aksara rekan
Tembang macapat
|
Semester
genap
Drama
Tembang macapat
Angka
Jawa
|
Semester
genap
Teks
drama dan teks naratif
Seni
pertunjukan
|
Diolah dari Silabus Muatan Lokal Bahasa Daerah SMA/MA/SMK Jatim
Merujuk pada
materi-materi yang disajikan dalam silabus di atas, dapat diketahui bahwa
materi yang diajarkannya agak berbeda dengan yang ditemukan di tingkat SD dan
SMP pada KBK maupun KTSP meskipun tetap menyajikan materi aksara dan huruf Jawa
serta unggah-ungguh. Penekanan pada unsur budaya dan adat tampak
kuat dilihat dari materi wayang, tembang, dan upacara adat.
Materi aksara dan
angka Jawa serta unggah-ungguh merupakan materi standar. Unggah-ungguh yang
terkait dengan kesopanan/ etika berbahasa Jawa mempunya tigatingkatan yaitu
bahasa Jawa ngoko, karma madya, dan karma
inggil. Buku-buku pelajaran yang tersedia di pasaran umumnya hanya
menyajikan bahasa Jawa standar yang sesuai dengan unggah-ungguh. Sulit atau
mungkin tidak ada buku teks yang memberikan ruang bagi dialek/subdialek bahasa
Jawa.
Akibatnya, tidak hanya
siswa yang mengalami kesulitan, guru yang harus mengajar pun mengalami
kesulitan untuk mendapatkan sumber dan media pembelajaran yang sesuai dengan
tuntutan pasal 10 Pergub Jatim Nomor 19 tahun 2034 disebutkan bahwa materi ajar bahasa daerah dapat diperkaya
dengan hal ihwal yang kontekstual dengan keadaan dan perkembangan budaya dan
tata nilai di kabupaten kota masing-masing. Guru yang sama sekali tidak
memiliki latar belakang pendidikan bahasa Jawa atau yang dalam keseharian
tidak terbiasa berbahasa Jawa dengan unggah-ungguh yang tepat
akan mengalami kesulitan untuk mengajar. Belum lagi ketika mereka harus
mengajarkan pewara bahasa Jawa yang biasanya menggunakan bahasa Jawa karma
inggilstandard an wayang.
Namun, kita dapat
berharap bahwa pembelajaran bahasa Jawa di tingkat SMP dan SMA dalam Kurikulum
2013 akan membawa perubahan minat siswa. Hasil penelitian yang dilakukan
Tim Detik harian Jawa Pos di Jawa Timur pada akhir 2013 menunjukkan temuan yang
berbeda dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan terhadap
pelajar SMP dan SMA di Kota Surabaya itu menunjukkan bahwa sebagian besar
(53.5%) siswa menyukai pelajaran bahasa Jawa dan sisanya 46.5%. Alasan mereka
menyenangi bahasa Jawa sebagian besar 40.6% menyatakan materi yang disenanginya
adalah menulis huruf Jawa, 27% memilih materi unggah-ungguh, dan sisanya 1.5%
memilih materi arti bahasa. Sebagian besar responden (83.9%) siswa menyatakan
bahwa pelajaran bahasa Jawa harus tetap ada dan
89,9% menyatakan
bangga bisa menggunakan Bahasa Jawa. Hasil penelitian yang dilakukan hanya di
Surabaya ini tentu bersifat kasuistik dan tidak bisa digeneralisasikan bagi
kota/kabupaten lain. Namun, setidaknya mampu memberikan harapan positif bahwa
minat siswa untuk belajar bahasa Jawa tidak serendah yang selama ini ditemukan
dalam penelitian-penelitian sebelumnya.
Agak berbeda dengan temuan penelitian tersebut, penulis mencoba
menggali informasi tentang minat siswa SMA dalam belajar bahasa Jawa di
wilayah Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu). Dengan menitipkan
kuesioner kepada 2 orang guru dari SMA yang telah melaksanakan Kurikulum
2013 padatahun ajaran 2013/2014 pada masing-masing daerah, penulis
memperoleh temuan yang berbeda. Ernyata sebagian besar dari siswa mengeluhkan
ata pelajaran bahasa Jawa hanya menambah beban jam pelajaran dan mereka kurang
berminat untuk mempelajarinya.
Pasal 10 dalam Pergub
Jatim Nomor 19 tahun 2014 seharusnya menjadi dasar bagi para guru Bahasa Jawa
untuk lebih leluasa mengembangkan materi pembelajaran yang sesuai dengan
potensi lokal. Potensi lokal yang dimaksud tidak hanya mencakup uacara atau
budaya daerah kabupaten/ kota tetapi juga bisa memberikan ruang bagi
dialek/subdialek bahasa Jawa yang berkembang di daerah tersebut. Materi ajar
bahasa daerah memang sudah seharusnya bersumber dari budaya, tata nilai,
yang berkembang di lingkungan masyarakat sebagai integrasi tematik yang
memanfaatkan kearifan lokal.
Bila hal ini dapat
dilakukan, maka pembelajaran bahasa Jawa tidak hanya akan mampu membekali
pengetahuan dan ketrampilan berbahasa Jawa standar yang baik dan benar, tetapi
juga akan mampu melindungi dan mengembangkan keberadaan bahasa Jawa dari
berbagai dialek/subdialek. Di samping itu, materi pembelajaran akan menjadi
lebih bermakna bagi siswa karena apa yang mereka pelajari adalah bahasa yang
memang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Pihak sekolah berkewajiban mengoordinir guru,
orang tua siswa, dan
pihak terkait lainnya
untuk memperlancar proses belajar mengajar. Kurikulum yang sudah disusun
disosialisasikan kepada guru, orang tua siswa, dan pihak terkait. Guru harus
kreatif mengembangkan metode pembelajaran agar menarik bagi siswa. Tugas yang
diberikan kepada siswa dikumpulkan, diperiksa dan hasilnya dikembalikan kepada
siswa. Guru berkoordinasi dengan orang tua agar siswa mengerjakan tugas-tugas
rumah. Orang tua menindaklanjuti instruksi guru dengan mengawasi anak-anaknya.
Bahkan,
orang tua wajib
memberikan tugas tambahan yang relevan agar anak lebih cepat dapat berbahasa
daerah. Guru dan orang tua mengawal setiap kegiatan siswa agar tujuan akhir
pembelajaran tercapai.
Simpulan dan
Rekomendasi
Sebagian besar guru
pengampu mata pelajaran bahasa Jawa di SMA/ SMK di Jawa Timur saat ini ternyata
belum memiliki kompetensi yang layak untuk mengampu mata pelajaran tersebut.
Hal ini terjadi karena mereka tidak memiliki latar belakang pendidikan bahasa
Jawa. Jumlah guru yang berlatar belakang pendidikan bahasa Jawa sangat terbatas
itu pun sebagian besar merupakan sarjana fresh graduate yang belum memiliki
pengalaman mengajar.
Untuk mengatasi
problem ini, pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur bersama bupati/ wali kota
sebagai penanggung jawab pengembangan dan pelestarian bahasa daerah bertanggung
jawab untuk bersikap proaktif untuk mendorong peningkatan kompetensi guru.
Dinas Pendidikan Kota Surabaya misalnya, telah mengirimkan guru-guru pengampu
mata pelajaran bahasa Jawa untuk belajar di Universitas Negeri Surabaya.
Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan bekal pengetahuan dan ketrampilan
bahasa Jawa yang memadai bagi para guru. Dinas pendidikan kota/kabupaten lain
dapat mengadopsi kebijakan yang telah dilakukan Dinas Pendidikan Kota Surabaya
ini dengan merangkul perguruan tinggi (PT) atau pakar bahasa dan sastra Jaa
seperti para dosen, budayawan, dan seniman Jawa.
Sekolah juga hendaknya
mengikutsertakan para guru, terutama para guru muda, dalam berbagai
pelatihan Kurikulum 2013. Hal ini akan memberikan bekal pengetahuan bagi
mereka untuk dapat mengajar sesuai dengan tuntutan kurikulum. Para guru
juga harus lebih proaktif untuk meningkatkan kompetensinya baik secara mandiri
maupun melalui kelompok musyawarah guru mata pelajaran (MGMP).
Terkait dengan materi
pembelajaran yang terkesan tidak nyata karena bukan bahasa yang ditemui siswa
dalam kehidupan sehari-hari, kiranya pemerintah daerah kabupaten/ kota dapat
mempertimbangkan untuk memasukkan bahasa Jawa dialek/subdialek yang berkembang
di daerahnya masing-masing. Hal ini akan dapat diharapkan meningkatkan motivasi
siswa untuk belajar bahasa Jawa sekaligus mempertahankan dan mengembangkan
bahasa Jawa dengan dialek/subdialek yang berbeda-beda. Dialek/subdialek bahasa
Jawa yang beragam adalah kekayaan budaya yang harus kita pertahankan. Tidak
hanya itu, untuk materi upacara adat atau kebudayaan daerah, guru sebaiknya
memilih upacara adat atau kebudayaan daerah yang berkembang di kota/
kabupatennya sendiri.
Untuk mengatasi belum
adanya buku siswa maupun buku guru untuk mata pelajaran bahasa Jawa guru bisa
membuat modul bahkan buku teks secara mandiri maupun bersama-sama dengan para
guru melalui forum MGMP.
Selain itu, para guru
hendaknya menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, yang dapat menumbuhkan
minat dan motivasi belajar. Minat dan motivasi belajar yang tinggi akan dapat
menghasilkan hasil belajar yang tinggi pula.
Penutup
Berpijak dari
Pergub Jatim Nomor 19 tahun 2014 dapat diketahui bahwa pembelajaran
bahasa Jawa di tingkat SMA/SMK/MA di Jawa Timur telah memiliki dasar hukum yang
kuat sebagai implementasi muatan lokal Kurikulum 2013. UUD 1945 dan UU Negara
lainnya yang memberi perlindungan hukum bagi upaya pelestarian dan
pengembangan bahasa daerah. Tidak ada alasan untuk menghapuskan mata
pelajaran bahasa Jawa dari struktur kurikulum, baik pada jenjang SD, SMP/MTs,
maupun SMA/SMK/MA.
Problem yang ditemukan
di lapangan saat ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi
tanggung jawab bersama antara pemerintah, sekolah, para guru, dan orang tua
siswa.
Payung hukum dan
kebijakan tentang mata pelajaran bahasa Jawa di Jawa Timur serta
penanganan problem secara tepat akan dapat menjadi salah satu langkah strategis
dalam mengembangkan dan melestarikan bahasa Jawa serta menanamkan budi pekerti
yang luhur pada para siswa karena pembelajaran bahasa Jawa juga mencakup
pembelajaran unggah-ungguh (tata krama)
Daftar Bacaan
Abdullah, Kamsiah.
2011. Perencanaan dan Praktis Bahasa di Singapura dalam Menghadapi
Globalisasi. Diterbitkan dalam Risalah Kongres Bahasa Indonesia VIII, Pemberdayaan
Bahasa Indonesia Memperkukuh Budaya Bangsa dalam Era Globalisasi (Halaman
202-220). Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud.
Ali, Hasan.2000. Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa dan sastra Using di
Banyuwangi (Makalah disampaikan
pada Kongres Bahasa Jawa di Semarang, 30 Juni-5 Juli 1991).
Alwi, Hasan. 2000. Bahasa
Indonesia dalam Era Globalisasi. Jakarta. Depdiknas.
_____ . 2000. Pelestarian
Bahasa Darah. Diterbitkan dalam Risalah Kongres Bahasa Indonesia VII, 2000. Bahasa
Indonesia dalam Globalisasi: Pemantapan Peran Bahasa sebagai Sarana Pembangunan
Bangsa, Halaman 63--71. Jakarta
Badan Pengembangan dan
pembinaan Bahasa. 2011. Undang-Undang Republik Indonesia tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Jakarta:
Kemdikbud.
Ditjen Kesbang dan
Politik, Depdagri. 2010. Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 40 Tahun
2009, tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan pengembangan
Bahasa Negara dan Daerah. Jakarta: Depdagri RI.
Djajasudarma, T.
Fatimah. 2000. Pengajaran Bahasa Daerah di Sekolah. Diterbitkan
dalam Risalah Kongres Bahasa Indonesia VII, 2000.
Hadiwidjojo, M.M.
Purbo. 1993. Kata dan Makna. Bandung: Penerbit ITB.
Suwardi. 2006. Kebijakan,
Idealisme, dan Inovasi Pembelajaran Bahasa Jawa dalam Konteks
Kebhinekatunggalikaan. (Makalah disampaikan pada KBJ IV di Semarang tanggal
10-14 September 2006)
Tilaar. H.A.R. 2007.
Mengindonesia: Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia.
Jakarta: Rineka Cipta.
Utari, Nur Rita Dewi.
20112. Kemampuan Berbahasa Jawa pada Siswa Sekolah dasar di SDN Tandes
Kidul I/110 Surabaya.Dimuat dalam Skriptorium, Vol. 1, No.
0Awesome Comments!